Syok di Jalan, Pengalaman Kecelakaan yang Tak Terduga

Kecelakaan

Syok di Jalan, Pengalaman Kecelakaan yang Tak Terduga

Musibah memang tidak bisa diduga kapan akan menghampiri. Seperti yang terjadi pada kami hari ini. Perjalanan menuju pondok pesantren putriku, harus tertunda hampir 1 jam. Di perjalanan, qodarullah, ada motor yang tiba-tiba menyebrang tanpa melihat ke arah mobil yang kami kendarai. Beruntung suami sempat mengerem, hingga benturan tidak begitu keras.

Saya syok! Yang saya pikirkan, bagaimana keadaan orang yang tertabrak? Tiba-tiba tubuh gemetaran. Membayangkan hal-hal buruk yang biasa berseliweran di berita-berita: korban luka parah, motor rusak berat, digebuki massa. Ya Allah, naudzubillah...

Setelah menepikan mobil di parkiran, suami segera memeriksa keaadaan bapak yang tertabrak. Cukup lama, tapi sayangnya saya tidak bisa ikut mendampingi. Hujan gerimis dengan cuaca mendung, buatku sebuah anugerah, setidaknya suasana sejuk ini tidak menambah emosi orang-orang yang kadang tidak tahu asal muasal kejadian tapi main hakim sendiri.

Saya harus tetap di mobil menjaga kedua anak kami (3 dan 5 tahun). Meski begitu, saya tidak henti berdoa, semoga semua baik-baik saja.

Daerah yang 'Aman'

Seorang bapak berusia 30 tahunan mendekat ke arah saya. Rupanya dia tukang parkir di sana.

"Gimana keadaan yang ketabrak, Pak?" Tanyaku dengan rasa khawatir.

"Tenang aja Mbak, di sini daerah yang aman. Bapaknya gak papa, cuma lecet sedikit. Namanya orang tua bawa kendaraan." Jawabnya.

Asumsi saya, kata aman yang ia maksud artinya di daerah itu tidak akan ada amuk massa. Ya, ini cukup menenangkan buatku. Bagaimana pun timbul kekhawatiran ketika orang-orang bergerombol tadi saat kecelakaan terjadi.

Dapat tambahan informasi yang melegakan ketika ia mengatakan bahwa bapak yang tertabrak tidak mengalami luka parah. Ya, sebenarnya poin ini yang paling membuatku khawatir.

Syok di jalan

Pengendara Uzur

Saya agak prihatin dengan lansia yang masih mengendarai kendaraan roda dua atau roda empat. Seperti yang kita tahu, ketika usia sudah mulai senja, kesehatan tubuh berkurang. Ketajaman mata dan kekuatan fisik juga menurun. Tentu cukup berisiko jika tetap memaksakan diri mengendarai kendaraan bermesin.

Ternyata di Indonesia belum ada batasan maksimal usia mengemudi, hanya diwajibkan pembaharuan SIM secara berkala tiap 5 tahun. Namun menurut Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI) Sony Susmana menjelaskan, batas usia mengemudi yang ideal adalah 17 sampai dengan 60 tahun (seva.id).

Alhamdulillah semua bisa diselesaikan baik-baik. Ternyata bapak yang tertabrak itu sudah berusia 77 tahun. Ia hendak menjemput istrinya yang tengah berjualan buah di pasar 'kalangan' yang kami lewati itu.

Akhirnya beliau dan istri kami antarkan sampai ke rumah. Beliau pensiunan guru dan asli orang Jawa Timur meski sudah lama menetap di Sumatera Selatan. Dari obrolan, si bapak sempat bilang begini:

"Umur memang sudah tua tapi jiwa, pemikiran ini masih merasa muda."

Ya, kadang orang tua selalu merasa kuat dan bisa. Padahal keadaan fisik sudah tidak memungkinkan lagi. Selain itu, penurunan kognitif dan adanya gangguan psikologis secara umum yang biasa terjadi pada lansia, juga sangat menentukan kemampuan berkendara.

Terjadi Lakalantas antara Mobil dan Motor, mengapa selalu mobil yang salah?

Kejadian hari ini, sama persis seperti pertanyaan yang dibahas dalam website news.detik.com ini. Dimana tiba-tiba si bapak menyeberang tanpa melihat ada mobil.

"Kerugian yang diderita oleh si pengendara motor tersebut adalah akibat ulahnya sendiri. Pengendara mobil tidak wajib menanggung biaya ganti kerugian pengendara sepeda motor." Penyuluh BPHN Kemenkumham.

Demikian kutipan di dalam website tersebut. Tapi, beberapa kali saya sering mendengar jika antara mobil dan motor, selalu mobil yang salah. Selalu pengendara mobil yang harus bertanggung jawab mengganti kerugian dan membayar biaya pengobatan. Seakan-akan pengendara mobil lah yang salah.

Saya tidak menyesalkan apapun, dan saya bersyukur si bapak baik-baik saja. Saya anggap semua ini takdir yang memang harus terjadi. Hanya saja, saya jadi teringat kejadian hampir serupa yang dialami saudara saya dulu, motor yang menabrak mobil, pengendara motor tidak pakai helm dan tidak punya SIM, tapi karena katanya dia punya keluarga yang 'berkedudukan', saudara saya lah yang disalahkan dan harus menanggung puluhan juta.

Jika sebagai bentuk kemanusiaan, tidak ada salahnya membantu. Karena terlepas dari siapa yang salah, pengendara motor mengalami luka di tubuh. Tapi jika dituntut seakan bersalah, rasanya kurang pas juga.

Wallahu'alam, semoga musibah yang kami alami hari ini cukup sampai di sini dan sekali ini saja terjadi, sungguh pengalaman kecelakaan yang tak terduga.

Komentar