Dia adik sahabatku. Betapa pun selama ini aku menyimpan rapat dan dia pandai menyembunyikan rasa, kami sama-sama tahu bahwa kami saling menyukai. Sampai pada saat kuberanikan diri meminangnnya, tanpa syarat ia pun menerima.
Minggu
depan adalah hari pernikahan kami, tapi ia malah terbujur di ranjang dingin
UGD. Kebrutalan pengendara bis kota membuatnya bisu. Tak pernah ku ragu, pun
ketika Ijab-qabul tanpa kehadirannya. Sebab bagiku, cinta tak
perlu alasan. Baru saja akad nikah kami berlangsung. Pagi ini, aku telah
menikahi seseorang yang akan selalu kucinta sekarang dan selamanya. Betapa pun
keadaannya mengibakan, tetap saja dia lah perempuanku.
Kehidupan
kami akan bahagia, setidaknya begitulah harapan dan doa terdalamku. Meski
wajahnya tak secantik dulu, tubuhnya tak semulus pualam, tapi ku tahu hatinya
sebening embun. Dialah bidadariku.
Hari ini, adalah hari ke sepuluh pernikahan kami. Tapi dia tetap
membisu. Teringat pertama kali aku menyentuhnya, ku kecup keningnya, kubisikan
kalimat pertamaku sebagai suami.
“Dik,
aku suamimu. Engkau telah kunikahi dengan mahar dan saksi. Sungguh, aku
mencintaimu.” Setetes air mengalir lembut dari sela pelupuk yang
tertutup.
Dan rinduku tak berbahasa, ketika air mata adalah ceritanya. Ku basuh dahaga cinta ini dengan diam. Ku tutup lukanya dengan senyum pucat dan pura-pura. Bukan tak beralasan jika orang-orang menamaiku sunyi. Sebab tak pernah ada kata yang ku ucap setelah kebisuannya yang abadi sore ini, tepat di hari ulang tahunku.
*Disclaimer: Tulisan ini dipublikasikan ulang karena email author lama tidak aktif lagi.
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗