20 Maret 2007/20:29
Ah, Innalillahi atau Alhamdulillah yang
harus aku lafas siang ini? Siang khusuk, adalah impian sebagian besar
manusia. Ijab Di tersambut qobul dari bibir
ayah. Wajah Di berseri. Terlihat sangat ia bahagia. Meski sedikit gemetaran
karena gugup, tapi senyum yang makin mempermanis wajah manisnya tersungging
mantap.
Untuk pertama kali, aku menyentuh tangannya.
Menciumnya takzim. Tuhan, dia suamiku mulai detik ini. Aku menangis. Bukan
karena haru biru bahagia, tetapi karena luka. Beban itu kini terasa sangat
berat. Tuhan, aku sangat tak bermaksud. Bukankah Kau juga yang mengatur perihal
jodoh?
Kucari sosok bintangku. Dia tak jua menghadiri
pernikahanku. Na dimana kau? Sungguh aku harapkan hadirmu saat ini. Aku butuh
maaf dan restumu Na. Terasa sia-sia bahagia akad ini tanpamu, tanpa restumu.
Tangisku semakin deras. Sekali lagi, bukan karena bahagia tetapi luka. Na,
kumohon…. Ratapku sendiri dalam hati yang tiba-tiba terasa hampa.
Tak lama kemudian kulihat Na tergesa memasuki
masjid Misbahuddin tempat aku dan Di melangsungkan pernikahan
kami. Na tersenyum padaku juga Di. Namun senyum itu terasa pahit dikalbuku.
Sakit sendiri atas penghianatanku terhadapnya. Na langsung mendekatiku, akupun
sama. Aku memeluknya, Na juga.
“Selamat ya Ri. Barokallahulaka,
wabaroka’alaika, wajama’abainakuma fikhoir.”[2] Aku hanya diam dalam sedu
meski sempat terlontar Amiin di hati. Terimakasih Na.
“Sudah Ri, nanti riasanmu rusak.” Na
melepaskan pelukannya dan mengusap airmataku dengan saputangannya. Dia masih
tersenyum sementara aku tahu dia terluka.
***
Menikah memang indah, walau tidak berarti tak
ada masalah dalam pernikahan. Benar bahwa menikah adalah setengahnya agama,
penyempurna. Ibadah yang kulakukan jauh terasa lebih khusuk dan nikmat setelah
menikah.
Tak teras hari-hari terus kujalani bersama Di, suamiku. Tahun-tahun
bergulir, terus berganti seperti keringnya tetes embun pada dedaun kala siang
dan digantikan tetes yang baru pada esok paginya.
Tujuh tahun pernikahanku. Aku tahu aku bahagia.
Di sangat sayang padaku, mencintaiku karena-Nya, pun aku memberikan semua
kesetiaan pada Di suamiku. Tetapi keluarga ini tak akan pernah terasa lengkap
tanpa kehadiran seorang Jundi. Dan Tuhan punya kehendak. Satu tahun
yang lalu harapan itu harus kuhapus. Satu tahun yang lalu impianku untuk
menjadi seorang ibu harus pupus. Kecelakaan itu merenggut janin empat bulan
dalam kandunganku sekaligus kantung rahimku. Pedih sekali. Mungkinkah karena
karma yang Na titip padaku? Meski aku yakin, Na tidak akan pernah mendoakan
keburukan buatku. Tetapi, bukankah Tuhan melihat segala kelancanganku? Merebut
impian terindah Na untuk hidup bersama Di. Oh, hidup bersama Di….
***
Lepas Isya berjama’ah—berdua dengan Di sebagai
imam—kucium tangan Di lalu menangis. Di bingung melihatku tak seperti biasanya.
Tapi Di hanya diam, membiarkanku menghabiskan isak. Di meraihku dalam
rangkulnya. Aku tak sanggup berucap, hanya menangis saja dalam peluk kasih
sayangnya. Bagaimana aku akan mengutarakan maksudku padamu Di? Kau akan
terluka, aku, Na mungkin juga keluarga besar kita. Kata-kata yang sudah
kurangkai sejak siang tadi, hilang begitu saja dari otakku. Dan ternyata
bibirku diam hingga aku tertidur di sajadah masih dalam pelukan Di.
Sepertiga malam aku terbangun. Ah, kutatap wajah
Di yang lembut. Lelaki tawadhukku. Airmataku mengalir lagi.
Di, aku mencintaimu, aku ingin kau bahagia, ujarku sendiri dalam sepi.
Perlahan aku bangkit. Kulirik jam di dinding
kamar kami, pukul 02.00 dini hari. Aku segera berwudhu dan shalat lail sendiri.
Kubiarkan dulu Di tidur. Dia pasti lelah memangkuku semalaman dan tertidur
dengan posisi duduk bersandar di dipan.
Usai shalat, aku memutuskan untuk menuliskan
saja maksudku pada selembar kertas. Kebiasaanku pada Di bila aku menasehati
atau mengingatkan atas kelalaiannya. Aku yakin Di akan memahaminya dengan baik.
Aku yakin Di mampu untuk itu. Aku yakin Na juga tidak akan keberatan.
Permudahkan Rabb….
Keesokan paginya, suasana mulai berubah. Mungkin
Di sudah membaca surat yang kuletakkan di atas kasur subuh tadi.
“Sarapan dulu Mas.” Tawarku padanya. Di hanya
mengangguk kecil. Sembari menghampiri meja makan. Nasi goreng spesial kesukaan
Di sudah rapi kuhidangkan di sana. Di makan tanpa memintaku makan bersama
seperti pagi-pagi biasanya. Aku ingin menangis. Tiba-tiba terasa sesak. Ah, Di
maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu sedih. Di tetap diam tanpa obrolan
hangat yang biasa menemani sarapan pagi kami. Usai makan Di berdiri.
“Aku pergi dulu.” Tanpa menolehku.
“Mas….” Di menoleh. Aku baru jelas menatap
rautnya yang tak semangat. Tampaak ia menanggung beban pada hatinya.
“Maafkan Ri jika membuat Mas selalu susah. Ri hanya ingin Mas
bahagia. Ri tahu Mas rindukan kehadiran anak dalam rumah ini. Ri juga Mas.” Aku
terisak. Ia mendekatiku. Mengusap kepalaku lembut.
“Maafkan Mas, Ri. Mas hanya tidak ingin
melukaimu. Mas tahu ini tidak mudah bagi Mas, apalagi bagimu. Mas sangat
mencintaimu. Sudah, jangan menangis lagi. Mas mau berangkat. Nanti Mas telat
nih.” Rayunya menenangkan gundahku.
“Masalah ini?” tanyaku sembari menyusut airmata.
“Nanti kita bicarakan lagi ya Cinta. Kita Istikharah-kan
bersama.” Aku tersenyum. Suamiku benar. Di lalu mencium keningku.
“Mas pergi ya. Assalamu’alaikum.”
***
Yang harus terjadi pasti akan terjadi. Semua
adalah ketentuan-Nya, aturan-Nya. Kita hanya menjalani dengan ikhtiar yang
benar.
Kurang lebih tiga minggu setelah surat itu kutulis. Ijab dari
bibir Di suamiku, kembali tersambut qobul. Tapi kali kedua
ini, qobul itu tidak dari ayahku melainkan Papa Na, sahabatku.
Na terlihat haru, mungkin apa yang ia rasa saat
ini, sama seperti apa yang pernah kurasakan tujuh tahun lalu. Aku tersenyum,
entah suka atu luka. Hanya saja, ketika semua terjadi seperti inginku,
gemericik galau tiba-tiba menjelma. Resah menelusup hampir pada setiap dinding
jiwa. Sentuhan lembut namun keras menghantam rasa. Berdarah putih, wujud ikhlas
setia yang sesungguhnya luka. Asa bahagia dengan gelayut manja bayang-bayang
jundi antara kita menari bersahaja. Sementara batinku, berada dalam
ketakberdayaan rasa. Apapun Bintang! Kau adalah bintangku, kuharap akan benar
menyinari, menghiasi langit hidupku yang gelap dan buram.
Bintang, inilah penebusan salahku padamu. Inilah
bentuk setiaku padamu Di. Wujud cintaku pada kalian berdua. Sungguh, inilah
kebahagiaanku paling bahagia. Akulah Ri, pemilik dua cinta.
***
Bintang, kau adalah
penghias nuraniku.
[1] Kahlil Gibran
[2] Mudah-mudahan Allah memberkati saudara dan
menurunkan berkah-Nya atas saudara serta mengumpulkan saudara berdua dalam
kebaikan. (H. R. Tirmidzi, hadist hasan shahih.
Diterbitkan dalam antologi Cerpen dan Puisi Dewan
Kesenian Palembang 2007
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗