Rangkong.org |
Tor! Bunyi tembakan senapan angin, menggema seantero hutan nan sunyi. Burung berbulu hitam pekat itu melayang tak berdaya. Jatuh dari pohon tempatnya bertengger barusan. Bidikan Dehen, tepat mengenai pangkal sayapnya.
“Yes! One shoot!” Ucapnya girang. Sementara Arya merasa jengkel. Ia belum berhasil mengenai satu burungpun, sementara burung hitam ini, burung ketiga yang berhasil didapatkan temannya itu, dengan sekali tembak. Mereka tidak mengambil dua burung sebelumnya. Karena bukan jenis burung tersebut yang mereka cari.
“Ayo Arya. Katanya kamu sudah latihan banyak. Dari tadi bidikanmu meleset terus,” ujar Dehen mengejek.
“Ah, kau hanya sedang beruntung saja. Jangan terlalu bangga,” balas Arya.
Mereka melanjutkan perburuan. Masuk lebih dalam ke hutan. Tujuan utamanya menangkap Rangkong Gading hidup atau mati. Ini sudah menjadi mata pencarian mereka hampir dua tahun terakhir.
Makin jauh menjelajahi hutan, suasana makin mencekam. Rimbun pohon-pohon tua menghalangi sinar matahari. Meski sebenarnya saat itu siang yang panas, namun di dalam hutan seperti menjelang malam. Kepakan sayap nyamuk-nyamuk, terdengar di telinga. Tapi di sana udara begitu sejuk. Paru-paru terasa nyaman menerima udara bersih itu.
“Hati-hati!” Seru Arya. Dehen hampir memegang ular yang melekat di dahan pohon. Ular itu berwarna hijau serupa daun. Dehen spontan melompat menjauhi dahan itu.
“Untung saja...,” Dehen mengelus dada.
“Harus fokus, Dehen. Ini hutan liar. Ular tadi berbisa. Ular pucuk,” jelas Arya.
By Waldemar Brandt Unsplash.com |
“Sst...,” Dehen menyentuh bahu Arya yang kini mendahuluinya. “di sana...,” lanjutnya, seraya menunjuk ke atas pohon yang menjulang kurang lebih lima meter di hadapan mereka.
Arya mengikuti arah tunjuk Dehen. Tampak seekor Rangkong Gading tengah mematuk-matuk dahan kayu beringin di hadapan mereka. Akar gantungnya menjuntai banyak sekali. Menandakan beringinn itu telah berumur. Rangkong gading itu terlihat gagah. Bulunya sempurna, dengan warna abu-abu pekat yang mendominasi. Sepertinya Rangkong jantan.
Dehen bersiap dengan senapannya. Membidik Rangkong itu. Satu, dua, Dor! Peluru melesat cepat. Menghujam tepat di perut burung itu. Ia oleng, namun masih bertahan pada posisinya.
Dor! Tembakan kedua mengenai kakinya. Dor! Peluru kembali menghujam di tubuhnya yang makin melemah. Dor! Kini tepat mengenai tembolok. Rangkong tak kuasa lagi bertahan. Tubuhnya jatuh ke bumi, tapi ia tidak mati, belum.
Dehen dan Arya berlari ke arah burung itu. Wajah mereka semringah. Uang banyak telah dalam genggaman, pikir mereka. Tak sia-sia masuk hingga sejauh ini ke dalam hutan.
Dehen lebih dulu tiba. Ia memerhatikan burung tak berdaya itu. Ia pikir sudah mati, namun sedikit gerakan di sayapnya membuktikan Rangkong gading itu masih hidup. Dehen membalikkan tubuh berdarah itu. Sangat indah. Paruhnya yang besar membuat Dehen tersenyum puas.
Dehen terkesiap ketika melihat ada bulir bening mengalir dari mata sayu burung itu. Dehen menatapnya tak percaya. Rangkong itu menangis. Dan itu nyata. Mata yang sedikit lagi mengatup itu, seakan menatap pilu pada Dehen. Seperti berteriak, merintih sedih. Dehen menahan nafas menyaksikan semua itu. Hatinya terasa berdenyut tak nyaman. Setelah membunuh ratusan burung, baru kali ini ia merasakan sesal dan sedih membunuh seekor Rangkong Gading.
***
Satu Rangkong jantan super besar hasil buruan mereka hari ini, dirasa cukup. Dehen dan Arya memutuskan untuk pulang.
Sepanjang perjalanan, Dehen terus teringat pada kejadian tadi. Air mata dan tatapan mata Rangkong yang ia bunuh itu, terus terbayang.
Apa aku telah melakukan kesalahan? Ya. Aku tahu membunuh hewan langka ini salah. Tapi perutku harus diisi, dan mereka lah sumber uang itu. Dehen berucap dalam hati.
Meski Dehen terus menepis penyesalannya, tatapan Rangkong sekarat tadi, sempurna meninggalkan kesan perih di hati Dehen. Sepanjang jalan pulang, ia lebih banyak diam. Arya tak menyadari itu.
“Mengapa Sun belum pulang juga? Padahal hari sudah beranjak sore.” Nin bertanya sendiri. Ia sedikit bergerak mengubah posisi agar telurnya sempurna menerima kehangatan dari tubuhnya.
Sementara perutnya sudah terasa lapar. Tak nyaman baginya harus menahan lebih lama lagi. Ingin rasanya ia keluar sarang dan mencari makan sendiri. Tapi naluri sebagai seekor Rangkong betina yang tengah mengerami telur, tak memperbolehkan itu. Malam menjelang, Sun tak jua kembali.
“Sun, aku sangat lapar. Tapi aku tak bisa kemana-mana. Akan terjadi hal buruk pada anak kita ini, jika sampai aku meninggalkannya,” lirih Nin. Tak ada pilihan kecuali menunggu. Hingga sampai Nin menjadi sangat lemah dan tak berdaya. Sun tak pulang membawakan makanan sebagaimana Rangkong jantan harus memenuhi kebutuhan betinanya.
Setelah sempat pingsan. Kini Nin mulai sadarkan diri. Rasa haus sempurna melumpuhkan pertahanan dalam penantiannya. Entah sudah berapa lama ia menunggu kedatangan Sun. Mata Nin telah sayu, makin sayu, lalu mengatup. Ada tetes air mata di sudutnya. Mati lah ia menyusul Sun yang tertembak. Telur tanda cinta, ikut serta pula beberapa waktu kemudian. Tanpa kehangatan dari sang induk, mustahil ia bisa tumbuh dan menetas.
By Ed Leszczynskl Unsplash.com |
Sudah berhari-hari sejak kejadian itu. Tapi Dehen masih terbayang peristiwa itu. Saat Arya mengajaknya kembali berburu, Dehen menolak. Ia belum sanggup untuk 'membunuh' lagi.
Tatapan pilu seekor rangkong membuatnya benar-benar menyesali perbuatannya. Kegemaramnya menembak memang tidak salah. Tapi kesenangannya menjadikan sesuatu yang bergerak sebagai sasaran, lebih menarik dan lebih menantang. Itulah menjadikannya 'pemangsa' burung. Di sanalah letak salahnya. Membunuh.
***
Apa yang akan terjadi pada Dehen setelah ini? Apakah 'karma' menghampirinya? Cerita bersambung ke bagian 2.
*pic 1 from rangkong.org
Apa yang akan terjadi pada Dehen setelah ini? Apakah 'karma' menghampirinya? Cerita bersambung ke bagian 2.
Y ampun...kalo cuma buat makan kok rangkong gading yang bukan cuma langka. Itu makhluk bukan sekedar icon kalbar semata. Bikin mewek deh kalo cerita pembunuhan sadis atas dasar kebutuhan perut manusia.
BalasHapusItulah manusia yang tak berhati nurani, Mbak. Yang penting perut, benar salah tak peduli.
HapusRangkong Gading ini hewan asli Indonesia, kah? Saya jadi kangen juga nulis cerpen gini. Sip, ini masih ada kelanjutannya, ya?
BalasHapusAsli Mbak. Satwa yang dilindungi. Khas Kalimantan Barat. Lanjutannya ada di link, di bagian akhir postingan.
HapusSemoga rangkong selamat dan pemburu bertobat masih ada cara lain untuk cari makan
BalasHapusLanjut baco ke bagian duo yo Mbak Dona 😊
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusCubo diperbanyak gambar rangkong gadingnyo jd pembaca sembari membaca jugo bisa bervisual lewat gambar ilustrasinyo.
BalasHapusGek kutambahi lagi Mbak. Mokasih masukannyo. Lanjut baco part 2 yo Mbak 😊
Hapustulisan ini dengan indah bisa melukiskan setiap gerakan dan kondisi sekitar dengan amat detil! keren bgt kak. terima kasih sdh mnginspirasi dengan tulisannya ^^
BalasHapusSama-sama. Lanjut baca part 2 nya ya....
HapusSedih banget liat satwa asli Indonesia diperlakukan seperti itu. Padahal kan kita dengan alam harusnya saling menjaga. :"( Ditungu part selanjutnya.
BalasHapusMereka juga makhluk hidup. Punya nyawa dan keluarga. Semoga tak ada lagi yang memburunya.
HapusEmosinya masuk banget ke Aku Mba, jadi googling gambar Rangkong Gading. Jadi penasaran juga sama peraturan mengenai hutan dan isi didalamnya, mana yang boleh dimanfaatan oleh manusia, mana yang dilindungi demi kelestarian alam ini.
BalasHapusHappy googling....
HapusPorsi paruh rangkongnya bisa diperbanyak mas, biar aku jadi paham, kenapa orang berburu paruhnya, atau ada mitos apa terkait itu.
BalasHapusSip. Udah ditambah di part 2.
HapusSaya sering salut sama orang-orang yg bisa bikin karya sastra fiksi kek gini, huhu mantap
BalasHapusAyo ngefiksi juga 😁
HapusSuka banget sama cerpennya mbak .... Burung rangkong memang sudah langka ya, tapi manusia tidak sadar dan malah terus memburu hewan-hewan langka.
BalasHapusBahayanya, kepunahan rangkong ini bisa menyebabkan punahnya hutan pula.
HapusBaru tahu burung Rangkong sudah langka dan diburu untuk dimakan ya? Keren kak nge-fiksi buat buka awareness masyarakat
BalasHapusGak dimakan sih. Rata2 pemburu menjual paruhnya. Dipercaya bisa mengobati banyak penyakit.
HapusPenasaran sama cerita selanjutnya. Ya ampun... enggak kebayang kalo aku diposisi itu. Merasa berdosa banget deh.
BalasHapusLanjut. Part 2 sudah up.
HapusMba Derisss... Saya autokaget pas asik² baca liat foto ularnya huhuu... Ada phobi jg sy liat hewan reptil yg satu ituu...
BalasHapusBtw, ditunggu lanjutan cerpen sastra hijaunya ya
Sama 😄 saya juga takut banget sama ular. Itu pas googling gambarnya, merinding2 gitu ih....
HapusDuh.. Penisirin banget nih.. Sedih juga bacanya tapi
BalasHapusLanjut part 2 ya Mbak. Udah update.
HapusIni kok keren amat yak background ceritanya. Bisa bikin gini.
BalasHapusAyo coba nulis cerpen. Biar bisa kere juga.
HapusJadi berasa pengen getok kepalanya yang nembak itu. Plis jangan lakukan lagi
BalasHapusUdah digetok sama Tuhan Mbak. He he he
HapusImajinasinya luarr biasa mbak, seakan akan benar benar ada di hutan.
BalasHapusBerasa mau dipatuk ular juga dong. Hi hi hi.
HapusPenasaran sama kelanjutan ceritanya, apakah Dehen akan mendapatkan azab atas perbuatannya?
BalasHapus