Tatapan pilu seekor rangkong membuatnya benar-benar menyesali perbuatannya. Kegemaramnya menembak memang tidak salah. Tapi kesenangannya menjadikan sesuatu yang bergerak sebagai sasaran, lebih menarik dan lebih menantang. Itulah menjadikannya 'pemangsa' burung. Di sanalah letak salahnya. Membunuh.
“Hei! Jangan membidik burung itu!” Dehen menegur keras seorang bocah lelaki yang tengah bersiap dengan peluru kerikilnya. Bocah itu tak jadi menarik tali karet ketapelnya dan melihat kepada Dehen.
“Jangan membunuhnya, Nak. Mereka juga harus hidup. Mereka juga punya keluarga,” jelas Dehen. “Siapa namamu” lanjut Dehen.
“Rian Om,” jawabnya.
“Ngapain kamu di sini? Hutan berbahaya. Apa lagi untuk anak-anak sepertimu.”
“Aku memang sering ke sini. Aku mencari burung, Om.”
“Di mana rumahmu?” Tanya Dehen lagi.
“Di Desa Sahan,” jawab Rian. Desanya hanya berjarak satu kilo meter ke hutan ini. Bocah sepuluh tahun itu, memang sering bermain di pinggiran hutan. Baru kali ini ia sedikit masuk ke dalam. Karena tadi mengejar burung yang akan ia bidik.
“Ayo kita keluar. Di sini banyak binatang buas,” ajak Dehen. Rian menurut.
“Dulu, Om juga senang memburu burung sepertimu. Ratusan burung telah Om tembak.” Rian berdecak kagum. Ia mulai tertarik dengan cerita Dehen.
“Sampai suatu ketika, Om menembak seekor Rangkong gading jantan. Kau Tahu burung Rangkong Gading?” Tanya Dehen.
“Ya Om. Aku tahu. Paruhnya besar.”
“Empat kali Om tembak, tapi ternyata ia masih hidup saat Om dekati,” Dehen menjeda ceritanya. Ia mengayunkan goloknya, menebas rumput berduri yang menghalangi jalan mereka.
“Saat Om menghampiri, matanya yang sayu menatap Om. Ada air mata mengalir di sudut matanya. Ia seakan berkata: aku harus pulang. Keluargaku membutuhkanku.” Dehen melirik pada Rian. Terlihat anak itu khusuk mendengarkan kisahnya.
“Sejak saat itu Om sadar. Om telah melakukan banyak dosa besar. Dan memutuskan untuk berhenti memburu. Kau tahu, ternyata butuh enam bulan untuk Rangkong menghasilkan satu anak. Dan selama itu, Rangkong betina dan telurnya menggantungkan hidup sepenuhnya pada sang jantan. Ketika membunuh satu jantan, mungkin kita telah membunuh satu keluarga.” Rian mengangguk-aguk mengerti.
Rangkong.org |
“Bukan hanya itu, Rangkong adalah petani hutan sejati. Ia makan buah-buahan dan tak mencerna bijinya. Sehingga biji itu tersebar ke banyak tempat, dan tumbuh. Salah satu makanannya adalah buah pohon beringin. Om menyesal. Mungkin saja Rangkong itu menangis karena ia meninggalkan keluarganya.” Dehen mendesah. Mengingat kesalahannya dahulu, selalu menghadirkan sesal yang tak pernah usai. Sebab nyawa yang tercabut, tak akan pernah bisa kembali lagi.
“Jadi, jangan lagi membunuh burung ya. Kalau tak ada burung seperti Rangkong, tak ada hutan dengan pohonnya yang banyak. Hutan itu paru-paru dunia. Kalau sampai musnah, kita juga musnah. Lihat, orang desamu saja kebanyakan hidup dari pohon tengkawang. Harus dijaga kelestariannya.” Ucap Dehen panjang lebar.
Rian kembali mengangguk. Ia membenarkan perkataan Dehen. Di desanya, orang-orang banyak mengolah buah pohon tengkawang. Pohon yang hidup puluhan tahun itu harus dijaga keberadaannya untuk kelangsungan hidup di masa depan tentunya.
Baca juga: Cerpen Jurus Jitu Sang Suami
Mereka lalu berpisah di pinggir desa. Dehen kembali ke hutan. Ia masih harus menyisir area lebih dalam. Membuang semua perangkap hewan yang dibuat manusia. Ya. Tugas seorang polisi hutan, adalah mencintai dan menjaga pohon dan hewan-hewan di dalamnya.
Dehen akan menjaga Rangkong, pohon beringin, pohon tengkawang bahkan ular hijau yang beracun di dahan-dahan. Dehen ingin menebus segala dosa lamanya. Sampai tetes darah penghabisan, akan ia perjuangkan sekuat tenaga.
***
*Cerpen ini diangkat dari kisah nyata Khaedir. Seorang pemburu yang insaf setelah melihat Rangkong Gading menangis di ujung kematiannya.
**Source pic 1 from unsplas.com by Jan Meeus
melestarikan hewan dan menjaga habitatnya itu emng perlu dilakukan :) setuju dengan tulisan nya
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung dan membaca.
HapusWah ternyata ini kisah nyata ya Mba, bener banget setiap makhluk hidup itu adalah bagian dari rantai kehidupan, kalo ada satu spesies yang punah, terganggulah keseluruhan ekosistem.
BalasHapusBetul. Harusnya ada kesadaran dalam diri.
HapusOh ternyata ini kisah nyataa
BalasHapusKeren mba :)
Suka cerpennya
Terima kasih....
Hapus