“Baiklah anak-anak, ini adalah bagi rapor pada semester akhir kalian di SMA. Ada yang nilainya naik dan ada yang turun. Ada yang masuk sepuluh besar dan ada yang keluar. Tapi semua itu bukan segala-galanya. Kehidupan kalian masih panjang. Banyak hal yang harus diperjuangkan,” penjelasan Bu Lela, wali kelas kami, seakan menghipnotis. Tak ada suara dan lelucon seperti biasanya. Mungkin karena tegang atau terbawa suasana.
Bu Lela mulai mengumumkan nama dari peringkat pertama sampai kesembilan, semua nama orang lama. Orang pintar itu-itu saja. Paling-paling ada yang bergeser naik atau turun. Entah mengapa, jeda Bu Lela mengumumkan peringkat kesepuluh membuat hatiku berdegup mencepat. Pasalnya, dari peringkat satu sampai sembilan tak ada perubahan, artinya peringkat sepuluh yang berubah. Dan itu... Riyan. Mantan kekasih yang kuputuskan sepihak.
Rasa cemas menyusup di hati. Meski kami tak ada hubungan lagi, tapi tetap saja aku khawatir. Jika ia keluar dari sepuluh besar, sudah pasti itu berarti nilainya turun, dan sejak kuputuskan tiga bulan lalu, memang banyak perubahan terjadi padanya.
“Riyan, untuk semester ini mengalami penurunan dan keluar dari sepuluh besar,” lanjut Bu Lela.
Benar saja, kekhawatiranku terbukti. Kutatap ia sekilas. Riyan terlihat berusaha menerima kenyataan, meski terlihat jelas kekecewaan di wajahnya.
“Peringkat sepuluh adalah... Erin.” Aku tersentak. Semua mata memandangku. Kami sama-sama terkejut. Aku tak pernah menyangka akan masuk sepuluh besar, karena aku merasa hal itu tak mungkin. Namun sejak putus dari Riyan, aku memang lebih keras belajar, berusaha mengalihkan pikiran darinya.
“Selamat ya, Erin...,” ucap Bu Lela.
Tiba-tiba, Brak! Riyan berdiri dari bangkunya, berjalan ke depan kelas menuju pintu, dan memukul papan absen kelas. Lalu melangkah keluar dengan emosi yang masih menggebu. Jantungku serasa akan lepas karena kejadian itu. Papan absen yang tergantung di sebelah papan tulis, terbelah. Bu Lela pias, merasa terkejut dan tentu saja tak menyangka Riyan akan seperti itu. Hendra, ketua kelas langsung berdiri meminta maaf pada Bu Lela.
“Maaf Bu, Riyan sedang ada masalah...,” jelasnya. Disambut anggukan Bu Lela. “Saya izin menemui Riyan ya, Bu,” lanjutnya.
“Ya, nanti tolong ajak Riyan menemui ibu di kantor,” tandas Bu Lela. Hendra mengangguk dan setengah berlari menyusul Riyan.
Selepas kepergian Bu Lela, kelas menjadi riuh. Beberapa teman mendekatiku, memberi selamat dan ada pula yang menenangkanku. Kucoba memberikan senyum, meski sesungguhnya hatiku menangis.
Aku merasa bersalah pada Riyan. Karena memutuskan hubungan kami secara sepihak dengan alasan yang tak bisa ia terima. Mungkin ia benar-benar mencintaiku, sehingga pengaruh diriku terhadapnya begitu besar. Aku lebih lagi merasa bersalah, ketika ternyata akulah yang menggeser posisi sepuluh besarnya. Aku seperti baik-baik saja, aku merasa seakan berbahagia di atas lukanya.
Tapi itu tidak benar! Aku memutuskan berpisah, bukan karena tak mencintainya. Aku hanya ingin menjaga jilbab yang kukenakan ini. Dulu kami berkomitmen tak akan sering bertemu atau jalan berdua, tapi nyatanya? Kedua insan yang dimabuk cinta, tak kan mampu mengendalikan perasaan rindu yang selalu muncul, walau setiap hari di sekolah, kami selalu bertemu.
Baca juga: My Flash Fiction Ingin Punya Anak
Mengantar pulang, menemani ke kantin, mengerjakan tugas berdua, menelepon, bahkan datang ke rumah ketika hari minggu. Ini sudah di luar kesepakatan. Aku tidak mau melangkah lebih jauh karena kebersamaan itu.
Sekuat apapun komitmen yang dibuat dalam berpacaran, tetap akan susah melawan yang namanya hawa nafsu yang bagai bahan bakar disulut api. :)
BalasHapusBenar sekali. Memang tidak--belum--zina, tapi mendekatinya sama saja memfasilitasi.
HapusTerima kasih sudah mampir @Greatnesia 😊
cepat sambunggggg
BalasHapusLah komplet, Kak. Link kat bawah postingan tu. Terima kasih lah mampir.
Hapus