Diambil dari : dakwatuna.com |
Maksiat itu sungguh menghitamkan hati. Membuat hati tertutup. Tak mampu
melihat dan memilih mana yang seharusnya dan mana yang tidak. Sekali terbuai,
seterusnya akan sulit melepaskan diri.
Mungkin itu yang kau alami ukhti.
Tetapi setidaknya kau masih punya benteng di jiwamu? Bukankah engkau dan aku
sama pahamnya dengan satu kewajiban ‘berhijab’ itu? Bukankah ilmumu jauh lebih
matang dariku? Kau pernah mengenyam pendidikan di Pesantren--tempat yang selalu
menjadi kerinduanku—sementara aku, hanya lulusan SD, SMP, dan SMA negeri yang
pendidikan agamanya jauh dari pendalaman. Bukankah, bukankah, dan bukankah yang
lainnya menyeruak diotakku.
Aku masih ingat waktu kita kuliah dulu. Mungkin kau tak tahu, betapa
aku—kami—berjuang mengajakmu untuk benar-benar melaksanakan syariat seperti
yang kita pelajari. Mengingatkan untuk selalu benar-benar baik menutup aurat,
bertingkah danbahkan berucap. Sekecil apapun itu aku—kami—senantiasa
memperhatikan dan mengingatkan. Sebab kami cinta, padamu.
Satu yang tampak di mata adalah aurat. Engkau cantik ukhti. Tak perlu diragukan lagi. Seharusnyalah menutupi aurat
sebagaimana mestinya. Apa yang telah ditentukan Allah SWT pasti adalah yang
terbaik untuk kita. Ah, sungguh aku tak habis pikir dengan pilihanmu.
Membiarkan rambutmu terurai dan mempertontonkan bagian-bagian tubuhmu di
khalayak umum, sungguh bukan hal yang tepat. Pun itu merupakan aplikasi dari kekesalan,
kekecewaan maupun rasa bersalahmu! “Ulurkan jilbabmu hingga ke dada Ukhti....”. Hatiku teriris melihatmu
kini L
Apa yang sesungguhnya telah kau alami? Aku yakin, tak akan semudah itu
kau lempar kewajiban muslimahmu hanya karena permasahan hidup. Luar biasa
terkejut saat aku melihat foto profilmu bergaya tanpa jilbab. Sementara kenanganku
adalah seorang akhwat dengan wajah cerah berjilbab sepinggang dengan gamis
motif bunga. Anggun sekali. Fotomu di depan tugu pondok pesantrenmu. Dulu. Ya,
aku harus sadar bahwa itu dulu.
Ukhti, sebesar apapun dosa dan
kesalahanmu, Allah SWT maha pemaaf. Mohon ampun lah. Atau senyaman apa pun kau
dengan pilihanmu sekarang, sungguh, adzab begitu perih. Kemurkaan Allah SWT
tiada terkira. Mohon pikirkan kembali...
Tak ada kata terlambat untuk mempebaiki dan atau membersihkan diri dari
kotornya maksiat. Juga tak ada kata terlambat untuk berani keluar dari zona
nyaman yang sesungguhnya lingkaran dosa. Berhijrahlah, sebab
aku—kami—menyayangimu karena Allah....
*dari hati ke hati.
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗